IQRO’ ala Paulo Freire dan Sorogan ala Pesantren (Beserta Analisis)
“Pendidikan harus menjadi arena pembebasan manusia
sehingga mengantar orang menemukan dirinya sendiri, untuk kemudian
menghadapi realitas sekitarnya dengan kritis dan mengubah dunia secara
kreatif.”
[Paulo Freire, Brasil 1921-1997]
~
Bukan suatu kebetulan jika ayat yang pertama kali diwahyukan kepada
Baginda Muhammad adalah “Bacalah!” (إقرأ) bukan “Dengarlah!” (إسمع)
atau semacamnya. Meskipun sama-sama kata perintah (fi’il amr), lafadz
“Iqro’” menyiratkan kesan dan pesan khusus, yakni keaktifan si manusia
sendiri, karena membaca merupakan aksi aktif, bukan pasif.
Sudah jelas ayat ini menekankan pentingnya pendidikan, namun lebih dari
itu, ayat ini juga menyiratkan pendidikan macam apa yang cocok untuk
makhluk berakal seperti manusia ini.
Seseorang yang mau menggunakan daya bacanya terhadap fenomena sekitar
alias ayat kauniyah secara jernih pun pada akhirnya akan menyimpulkan
hal yang sama. Paulo Freire adalah salah satunya.
Pada masa kebangkitan aliran filsafat empirisme di Inggris, filsuf John
Locke mengemukakan konsep Tabula Rasa atau “wadah kosong”, sebagai
ilustrasi sistem pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia diandaikan
sebagai wadah yang awalnya kosong, dan akhirnya menjadi pengetahuan
utuh setelah diisi oleh beragam realitas empirik. Namun dengan demikian
kemanusiaan terberangus. Potensi individu terabaikan karena semua
diandaikan berangkat dari satu garis yang sama; wadah kosong.
Sedangkan Freire memperkenalkan metode pendidikan yang disebut dengan
Pendidikan Dialogis. Otoritas guru yang selalu satu arah diberangus
dengan konsep “guru sekaligus murid” dan “murid sekaligus guru”. Dialog
ini berusaha secara revolusioner mengubah konsep relasi berjarak
antara guru dan murid dalam struktur pendidikan formal sejak jaman
Yunani Kuno.
Karena itulah unsur dialog sangat penting bagi Freire. Terdapat suatu
dinamika dialektis antara pendidik dengan peserta didik. Penekanannya
adalah dengan menyadarkan pendidik maupun peserta didik agar dapat
berani bertindak dan mengubah situasi mereka.
Menurut Freire, kebiasaan “patuh” (atau dalam bahasa lainnya “adaptif”
seperti yang menjadi tujuan pendidikan konservatif) mendorong manusia
untuk menyesuaikan diri dengan realitas, bukan untuk berintegrasi.
Integrasi merupakan tindakan khas dari jiwa demokratis yang fleksibel,
menuntut kemampun untuk berpikir dengan kritis. Lawannya adalah
“adaptasi”, yakni hanya menyesuaikan diri terhadap kebiasaan yang
dipaksakan, dengan demikian membentuk suatu kerangka berpikir yang
otoriter serta tidak kritis.
~
Dalam tradisi pemahaman teks di pesantren pun ada metode serupa. Ada model pengajian bandongan, yakni mendengarkan keterangan seorang kiai kata demi kata dari sebuah kitab. Ada pula metode sorogan, yakni santri dituntut untuk membaca kitab tersebut di hadapan kiai secara langsung, sambil disimak dan dikoreksi oleh sang guru.
Semasa belia dahulu, salah seorang guruku, Mas Solah (yang kebetulan
adalah kakak sepupuku), menerapkan dua metode tersebut sekaligus dalam
satu kesempatan setiap malam. Awalnya, beliau membaca satu bab dari
sebuah kitab sambil menerangkan isinya, dan aku terus menyimak sambil
menulis arti setiap kata secara gandul.
Selanjutnya, aku disuruh membaca hasil kajian bab sebelumnya dengan metode tradisional ala Jawi (utawi iki iku),
lalu disuruh menjelaskan ide utama apa yang kubaca dengan Bahasa
Indonesia yang baik, sambil sesekali beliau sela dengan koreksi, baik
tentang gramatika bahasa maupun kesan makna yang kupahami, sambil
melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang memancing dialog.
Metode seperti ini, interaksi antara guru murid kurasa sangat efektif
dalam merangsang pemahaman sekaligus mentalitas. Karena biasanya, akan
muncul pemahaman-pemahaman baru setiap kali terjadi tanya jawab,
dialog, dan tukar pengalaman. Memang, metode efektif ala pesantren
seperti ini hanya bisa dijalankan dalam konsep ‘kelas’ yang eksklusif,
seperti yang sudah dilakukan sekolah-sekolah unggulan zaman sekarang.
~
Intinya, berpijak pada ayat qauliyah yang diwahyukan pertama kali serta
penafsiran ayat kauniyah yang digagas Paulo Freire tersebut,
pendidikan tidak boleh mencerabut peserta didik dari akar sosialnya
sehingga menjadikannya buta dan tuli terhadap realita yang ada.
Seorang peserta didik dibimbing untuk membaca (إقرأ), itu berarti
menuntut dia untuk berbicara, tidak hanya mendengarkan. Tentunya dengan
dasar kebebasan atas dasar keimanan (باسم ربك الذي خلق), dan sebagai
upaya mengenalkan dirinya tentang siapa dia dengan segala sisi
kemanusiaannya (خلق الإنسان من علق).
Wallahu A’lam
~
Jogja 18/03/2013
sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2013/03/18/iqro-ala-paulo-freire-dan-sorogan-ala-pesantren-543202.html
Melihat analogi diatas antara pernyataan paulo freire tentang pendidikan yang membebaskan dan pendidikan yang memanusiakan dengan ayat kauniyah "iqra" (bacalah) yang menjadi wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad diberikan oleh Malaikat Jibril sejenak saya berfikir dengan pendidikan Indonesia yang notabene nya kurang menyadari akan pentingnya pendidikan. boleh jadi semua orang berfikir bahwa pendidikan itu dapat didapatkan hanya ketika di sekolah, selain di sekolah itu bukan pendidikan. Paradigma seperti itu masih banyak dimiliki oleh beberapa kalangan siswa, tentunya hal ini sangat miris mengingat pendidikan itu bukan hanya di sekolah (formal) saja melainkan dalam keluarga (Non Formal) dan Masyarakat (Informal).
Melihat analogi diatas antara pernyataan paulo freire tentang pendidikan yang membebaskan dan pendidikan yang memanusiakan dengan ayat kauniyah "iqra" (bacalah) yang menjadi wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad diberikan oleh Malaikat Jibril sejenak saya berfikir dengan pendidikan Indonesia yang notabene nya kurang menyadari akan pentingnya pendidikan. boleh jadi semua orang berfikir bahwa pendidikan itu dapat didapatkan hanya ketika di sekolah, selain di sekolah itu bukan pendidikan. Paradigma seperti itu masih banyak dimiliki oleh beberapa kalangan siswa, tentunya hal ini sangat miris mengingat pendidikan itu bukan hanya di sekolah (formal) saja melainkan dalam keluarga (Non Formal) dan Masyarakat (Informal).
Pendidikan dalam keluarga pun tak kalah penting, malah, pendidikan keluarga merupakan faktor terbesar bagaimana anak bisa bertumbuh dan berkembangan dengan baik sesuai dengan pola asuh dan pola didik yang baik dan benar. Namun, tak banyak yang menyadari akan pentingnya pendidikan dalam keluarga. sungguh miris..
Begitupun juga dengan pendidikan di masyarakat. Masih banyak orang beranggapan bahwa pendidikan masyarakat itu tidak begitu penting dibandingkan pendidikan formal. Padahal musti kita ketahui bahwasannya pendidikan masyarakat itu penting guna membantu proses penyesuaian diri dengan lingkungan dan mengasah keterampilan softskill setelah dalam pendidikan formal mengetahui ataupun mempelajari teori-teori nya sebelum praktek dalam masyarakat.
Begitupun juga dengan pendidikan di masyarakat. Masih banyak orang beranggapan bahwa pendidikan masyarakat itu tidak begitu penting dibandingkan pendidikan formal. Padahal musti kita ketahui bahwasannya pendidikan masyarakat itu penting guna membantu proses penyesuaian diri dengan lingkungan dan mengasah keterampilan softskill setelah dalam pendidikan formal mengetahui ataupun mempelajari teori-teori nya sebelum praktek dalam masyarakat.
tidak bisa dipisahkan ketiga komponen pendidikan tersebut. Formal Education, Informal Education, Non Formal Education. bagi yang membaca postingan ini, cepatlah sadar diri bahwa pendidikan bukan hanya di sekolah, namun di keluarga dan masyarakat pun termasuk. jadikanlah hidup ini sebagai "belajar" dan dalam arena "pendidikan" karena seperti kita ketahui bahwa dalam hadist pun dinyatakan "tuntutlah ilmu mulai dari lahir hingga ke liang lahat" hadist ini menyatakan bahwa "Pendidikan/Belajar itu sepanjang hayat dan tidak ada kata berhenti sebelum ajal menjemput" jadi slogan untuk kehidupan ini adalah "Long Life Education"
Sekian...
Sekian...
Salam Pendidikan...
0 komentar:
Posting Komentar